Keteladananadalah salah satu kunci sukses intelektual profetik. Semakin terpuji akhlak para guru, senior, direktur, ketua, maka akan semakin tertantanglah sang individu menuju kesuksesan. Ada back-up psikologis dari orang yang lebih tua. Tentunya hal itu sangat diharapkan kebanyakan pelajar dalam wilayah apapun.
Saya tidak pernah menyangka jika ternyata perasaan mampu mempengaruhi inspirasi saya dalam melukis. I Gusti Ngurah Gede Pemecutan merupakan representasi sosok seniman Bali dengan karakter dan ciri karya yang sangat khas. Ia merupakan pelopor teknik melukis dengan menggunakan sidik jari. Meskipun telah menjadi guru bagi banyak seniman muda, hingga saat ini belum ada yang dapat disejajarkan dengan sosok pria kelahiran 9 April 1967 ini. Hal inilah membuatnya mendapatkan pengakuan secara internasional sebagai seniman dengan karakter yang sangat otentik. Dalam bidang seni lukis, teknik lukis dengan sidik jari termasuk dalam aliran pointilisme. Pointilisme sendiri dapat didefinisikan sebagai aliran seni lukis yang menggunakan komponen berupa titik-titik untuk membentuk suatu lukisan utuh. Sebenarnya banyak tokoh pelukis pada aliran ini yang telah mendunia, antara lain Georges Seurat, Paul Signac dan Vincent van Gogh. Meski demikian, tokoh-tokoh tersebut umumnya menggunakan kuas dan palet untuk membuat karya-karya mereka. Perbedaan mendasar dari karya Gede Pemecutan adalah penggunaan jari telunjuk untuk membentuk titik-titik dalam lukisannya, yang membuatnya memiliki kekhasan tersendiri. Selain itu, ia hanya menggunakan warna-warna dasar dalam karya-karyanya. Hal ini membuat gradasi warna yang terbentuk dalam lukisan dihasilkan dari perpaduan banyak titik, sehingga pengerjaannya pun membutuhkan ketelatenan dan ketelitian yang tinggi. Teknik melukis dengan sidik jari sebenarnya ditemukan Ngurah Gede Pemecutan secara tidak sengaja, sebuah kegagalan yang berhasil. Ngurah Gede Pemecutan berkisah awalnya inspirasi itu muncul saat ia mengerjakan sebuah lukisan tari baris, tepatnya pada tanggal 9 April 1967. Lukisan itu tak kunjung selesai, menimbulkan kekesalan yang membuatnya berniat merusak lukisan itu dengan menempelkan jemarinya yang penuh cat. Setelah beberapa waktu ditinggalkan, Ia merenungi lukisannya tersebut dan muncul inspirasi untuk menciptakan lukisan dengan jari telunjuk. Inspirasi itu muncul ketika saya mengerjakan sebuah lukisan tari baris yang tak kunjung selesai. Karena kesal, saya akhirnya menempelkan jemari saya yang penuh cat. Salah satu karya terbaik Ngurah Gede Pemecutan adalah lukisan yang mengisahkan tentang peristiwa perang Puputan Badung. Pada lukisan tersebut digambarkan suasana pertempuran antara pasukan Badung yang dipimpin raja Pemecutan melawan pasukan Belanda. Pada akhir pertempuran seluruh pasukan Pemecutan gugur dan hanya tersisa 2 orang bayi yang selamat. Karya yang memakan waktu pengerjaan hingga 18 bulan ini tak lain menceritakan tentang ayahanda Ngurah Gede Pemecutan sendiri, yaitu Anak Agung Gede Lanang Pemecutan yang ketika itu merupakan satu dari kedua bayi pewaris trah bangsawan Pemecutan. Ngurah Gede Pemecutan memang memiliki perhatian besar kepada generasi muda, sehingga Museum Lukisan Sidik Jari pun tak lepas dari visi menginspirasi tersebut. Karena itu sejak awal penggagasannya, museum ini tidak hanya berfungsi sebagai wahana untuk mengabadikan karya sang maestro, tetapi juga menjadi sebuah wahana pendidikan. Selain ruang pameran, museum ini pun secara rutin mengadakan kelas tari serta melukis bagi anak-anak dan remaja. Di usia senjanya, Ngurah Gede Pemecutan berharap generasi muda Bali bangga dengan kesenian tradisional yang menjadi identitas dari tanah kelahiran mereka. Lukisan-lukisan sidik jari karya Ngurah Gede Pemecutan dapat kita saksikan di Museum Lukisan Sidik Jari yang beralamat di Jl. Hayam Wuruk no. 175 Denpasar. Sebagian besar koleksi museum ini memang menonjolkan karakter khas dari karya sang pelukis, yaitu tersusun atas titik-titik yang membentuk suatu kesatuan lukisan yang utuh. Selain koleksi lukisan sidik jari, di dua segmen ruang pameran pertama pengunjung juga dapat melihat karya-karya awal Ngurah Gede Pemecutan sebelum fase penemuan teknik sidik jari. [TimIndonesiaKaya]
1 Suku Jawa. Baca Juga: Suku di Pulau Jawa Beserta Domisilinya. Hampir 40,22% penduduk Indonesia adalah Suku Jawa yang menjadikan mereka menjadi salah satu suku terbesar di Indonesia. Suku ini menempati hampir di setiap wilayah pulau Jawa, mayoritas di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 38 BAB III SENI RUPA BALI Sejarah Singkat Seni Rupa Bali Bali masa kini mungkin bisa dilihat dari penampilan Ubud. Desa kecil dengan kawasan hutan kera ini mengalami loncatan peradaban menjadi semacam desa kosmopolitan. Suasana wisata dengan gemerincing dollar yang ramai dengan akses ke berbagai belahan dunia lain tak kalah dibandingkan dengan kota-kota besar, namun ia tetap menjadi bagian dari Bali. Apakah dengan cara melihat seperti itu kita bisa menerima karya - karya para seniman terutama seni lukis masa kini yang, paling sedikit secara fisik, sudah tidak terasa seperti Bali? Bagaimana mungkin dari sebuah kawasan kultural dengan tradisi besar seni rupa bisa muncul lukisan-lukisan asing sebutlah misalnya seperti ekspresionis atau abstrak, yang berpadu dengan lukisan-lukisan di dalam kategori serupa di dalam sejarah seni rupa Barat? Pengaruh besar semacam apa yang mampu mengubah pandangan dunia para seniman yang terdidik ketat di dalam ulah seni tradisi dan hidup di dalam serba tatanan sosial maupun keagamaan, sehingga mau mengadopsi pikiran dan teknik baru? Meski berbau diskriminatif dan eksotik, pertanyaan-pertanyaan seperti itu layak diungkap mengingat perkembangan seni lukis Bali yang terkesan khusus dibanding daerah lain di dalam konteks Indonesia. Bahkan Bali sering lebih dilihat sebagai semacam enklave yang mempunyai alur perkembangannya sendiri, seolah-olah negeri pulau itu terbebas dari hubungan dengan dunia luar biarpun itu namanya Jawa atau Sumatera. Dasar kelayakannya juga bertumpu pada kenyataan, bahwa apa yang dilihat sebagai tradisi besar seni lukis mereka masih berlangsung sampai sekarang, dicerna dan dilanjutkan oleh para seniman berbakat berusia remaja-meski tentu dengan perubahan evolutif di sana- sini. Dalam hal ini para seniman masih bekerja dengan pandangan dunia clan cara-cara yang kurang lebih sama dengan para pendahulunya di Kamasan, Tebesaya, Batuan, atau Sanur. Karya-karya para pelukis tradisional ini dengan seketika bisa dikenali sebagai lukisan Bali, baik itu berupa lukisan wayang gaya klasik, mitologi, atau dongeng rakyat, maupun lukisan pemandangan kehidupan sehari-hari. Dibandingkan dengan karya-karya seperti inilah, lukisan-lukisan baru yang dihasilkan para seniman rnasa kini menjadi jauh dari Bali. 39 Sempat beredar pandangan, misalnya, bahwa sejarah seni rupa Indonesia modern adalah sejarah seni rupa Indonesia tanpa Bali, karena Bali mesti diperlakukan secara berbeda mengingat tradisi dan perkembangannya yang khas. Pandangan itu terkait dengan anggapan bahwa tradisi Bali yang begitu kuat, yang salah satu elemen pendukungnya adalah sifat kolektif, menghambat para senimannya untuk berkarya di dalam ruang seni modern yang mementingkan pencarian jalan dan ungkapan baru serta mengutamakan gerak individualistik. Sejarah seni rupa Indonesia hampir selalu ditelaah sebagai rentetan peristiwa- peristiwa bukan Bali. Sejarah tersebut ditandai terutama oleh perkumpulan seni Persagi yang berdiri tahun 1937, kiprah para empu yang menjadi lokomotif perkembangan sampai tahun 1980-an bahkan 1990-an, peran pendidikan seni rupa di ITB Bandung dan ASRI Yogyakarta yang sejak tahun 1950-an menandaskan pandangan-pandangan kesenian dan terutama kebebasan berekspresi seluasnya, sampai Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975 yang memperluas khazanah pemikiran dan menawarkan dataran pemikiran yang sama sekali baru. Peran Gerakan Seni Rupa Baru ini memungkinkan perkembangan seni rupa menjadi sedemikian rupa di dalam ragam pemikiran dan gaya ungkap seperti marak belakangan ini. Sementara riwayat perkembangan seni lukis Bali di dalam satu abad abad terakhir lebih dikenal terutama lewat perubahan mencolok dari ekspresi religius sebelum tahun 1900-an, ke pengaruh kelompok Pita Maha tahun 1930-an sampai 1950an, kemudian muncul beragam gaya ungkap lewat kelompok Sanggar Dewata tahun 1970-an, sampai penampilan mutakhir para seniman muda yang kini masih sekolah di perguruan tinggi seni yang sulit dibedakan dari penampilan rekan-rekannya dari daerah lain. Salah satu perkara yang menarik adalah potongan waktu yang sungguh-sungguh semasa, yaitu pada tahun 1930-an. Ketika itu di kedua wilayah kebudayaan tersebut aktivitas pemikiran dan praktik kesenian secara baru tengah gencar dilakukan, namun menunjukkan tanda-tanda tidak saling terhubung. Di Pulau Jawa sejalan dengan arus besar kaum pergerakan nasional, Sudjojono dengan Persagi gencar mengganyang cara berkesenian Mooi Indie dan menawarkan pikiran-pikiran progresif yang memicu aksiaksi penyadaran kebangsaan. Di Bali, Walter Spies, Rudolf Bonnet, dan Tjokorda Gede Agung, membongkar konsep dan fungsi karya seni religius dan menempatkannya ke ruang profan, yang bermuara pada perluasan tema pada obyek sehari-hari. Mereka menyurutkan semangat kolektif menjadi individual. Aktivitas lewat Pita Maha itu juga mengenalkan nilai komersial dari karya seni, karena perkumpulan seni ini berperan sebagai semacam koperasi untuk menjual karya - karya para anggotanya. Lahirlah sejumlah seniman yang kemudian dikenal sebagai pelukis- 40 pelukis Bali dengan semangat dan pandangan baru seperti, misalnya, Dewa Putu Bedil, Anak Agung Gde Sobrat, Gusti Ketut Kobot, atau Ida Bagus Made Poleng. Kelak dinamika kebudayaan ini melahirkan lukisan-lukisan genre, yang menunjukkan eksistensi seni lukis baru di Bali seperti gaya Ubud dan gaya Batuan. Potongan waktu lain yang menarik adalah akhir tahun 19S0-an dan 1960-an ketika peran pendidikan tinggi kesenian di Yogyakarta mulai menghasilkan sejumlah seniman yang kelak berpengaruh dalarn perkembangan seni rupa di Indonesia. Sebutlah itu seperti Widayat, Abas Alibasjah, Edi Sunarso, Fadjar Sidik, dan generasi berikutnya seperti Aming Prayitno, Subroto SM, Suwadji, Y Eka Suprihadi. Merekalah para modernis terkemuka pada masanya. Pada masa itu pulalah lahir seniman-seniman asal Bali hasil godokan perguruan tinggi seni yang sama. Generasi pertama mereka adalah Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Pande Gede Supada, Nyoman Arsana, dan Wayan Arsana. Semasa mahasiswa di Yogyakarta, mereka pada tahun 1970 mendirikan sebuah perkurnpulan yang mereka sebut Sanggar Dewata Indonesia. Dalam wawancara pada bulan Februari 2001 di rumah Wayan Sika di Bali dan Mei 2001 di rumah Nyoman Gunarsa di Bali, keduanya mengungkap bahwa peran penting Sanggar Dewata Indonesia adalah merangsang penciptaan seni masa depan dengan memadukan model estetika Barat modern dengan nilai-nilai tradisi dan ciri-ciri Bali. Sika menjelaskan ciri-ciri Bali itu merupakan perekat historis dan kultural. Gunarsa mengatakan, mereka menggali nilai-nilai etnik dengan kesadaran pengetahuan, yang merupakan visi baru yaitu corak Indonesia. Sebenarnya mereka berenam bukanlah orang- orang pertama yang merantau dan mendapat wawasan serta keterampilan baru. Nyoman Tusan, seorang lelaki kelahiran Desa Tejakula, Buleleng, lebih dulu melakukannya dengan bersekolah di Seni Rupa Institut Teknologi Bandung antara tahun 1954 dan 1961. la menggarap tema-tema Bali dengan pendekatan kubistik seperti gaya Picasso, tak jauh dari penerapan sikap modernis dengan memanfaatkan ikon-ikon budaya lokal. Sikap modernis Nyoman Tusan tidak banyak berpengaruh pada arus besar seni lukis Bali ketika ia pulang ke kampung halaman. Namun, para seniman Sanggar Dewata Indonesia berhasil menjadi motor dari gerakan seni rupa baru di Bali. Menurut pengamat budaya Putu Wirata dan Jean Couteau, pengaruh para alumni ASRI itu cukup besar di kalangan seniman muda di Kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Denpasar maupun Program Studi Seni Rupa dan Desain Universitas Udayana di Denpasar. Salah satu gaya mereka yang disebut abstrak ekspresionis bahkan menj adi arus utarna baru di dalam wacana seni rupa di Bali ketika kalangan seni rupa mengelu-elukan seni rupa kontemporer. Itulah sebuah wacana yang mengandung pemikiran estetik, paradigma, kesepakatan, maupun spirit rekomendasi 41 kecenderungan tertentu, yang justru menyangkal kepercayaan modernis sehingga sering disebut seni rupa post-modern. Kedua potongan waktu itu memperlihatkan bahwa perubahan terjadi ketika tradisi yang begitu kuat itu berkenalan dan berbenturan dengan pandangan, pikiran, dan cara kerja yang baru, yang datang dari luar. Walter Spies dan Rudolf Bonnet adalah dua eksponen penting yang memicu perubahan yang signifikan di dalam konteks waktu itu, tahun 1930-an. Apakah peranan seperti kedua orang asing itu pada masa sesudahnya, tahun 1960-an dan 1970-an serta dekade berikutnya, digantikan oleh pendidikan fonnal akademis yang membuka cakrawala pemikiran para seniman berbakat tersebut? Walter Spies, Rudolf Bonnet, yang bersama seorang bangsawan Tjokorda Gede Agung mendirikan Pita Maha, berperan sebagai agen perubahan lewat beberapa segi, yaitu konsep, kemudian pilihan tema, dan teknis pelaksanaan. Dalam hal konsep seperti telah disebut di muka, mereka menggeser konsep dan fungsi karya seni yang semula berada di ruang-ruang religius ke arah ruang-ruang profan. Perubahan seperti ini bersifat fundamental, menyangkut alam pikiran, kepercayaan, dan nilai-nilai, yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan orang Bali. Kaitan erat antara seni dan kepercayaan agama di dalam konteks Bali memang sedemikian rupa sehingga pergeseran semacam ini membutuhkan daya saran yang kuat dari pihak pengubah dan keterbukaan yang cukup besar dari para seniman setempat. Perubahan ini kemudian bermuara pada perluasan tema sehingga obyek sehari-hari menjadi layak untuk tampil di dalam kanvas mereka. Para seniman ini kemudian juga mempelajari anatomi, gelap dan terang, perspektif, dan horison, melengkapi pengamatan mereka atas kehidupan sehari-hari. Salah satu ciri penting pada gaya seni lukis Ubud yang terlahir kemudian adalah keterampilan melukiskan anatomi manusia yang digambarkan mendekati realistis, dengan pembentukan figur yang volumetris-belakangan terkadang dituding ke-Bonnet-an mengingat kekhasan karya-karya Bonnet terwakili di sana. Pengaruh yang terjadi pada para pelukis dari kawasan Desa Batuan adalah kebebasan yang lebih di dala,m menuangkan gagasan, dengan tema serupa yaitu kehidupan sehari-hari tersebut. Pada lukisan Batuan lebih muncul, misalnya, pesawat terbang atau sosok Bung Karno di tengah masyarakat Bali, pelancong sedang berselancar di laut. Kanvas mereka umumnya terkesan sesak dengan figur dan benda, berbagai adegan maupun narasi bisa sekaligus tumpah di dalam satu kanvas. Sejumlah seniman hasil didikan perguruan tinggi membuat perbedaan tajam dengan mereka yang tidak mendapat pendidikan formal tersebut. Mereka mengalami semacam pencerahan lewat percaturan terutama intelektual, pengayaan pengetahuan tennasuk konsep dan filsafat seni, maupun cara-cara baru di dalam penerapan teknik melukis. Satu faktor lain adalah, bahwa untuk itu mereka perlu merantau ke 42 Yogyakarta, yang rnungkin bisa dibaca bahwa perantauan mereka juga berlangsung secara nonfisik lewat pengembaraan ke arah faham-faham serta wacanawacana baru. Kemampuan mengambil jarak seperti ini tampaknya khas mereka yang masih tinggal di kampung halaman atau basis kulturalnya menjadi kurang berkembang. Dugaan seperti ini dibenarkan lewat sejumlah wawancara dengan Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Wayan Sika, Made Dj irna, Nyoman Erawan, IGN Nengah Nurata, serta sejumlah seniman yang lebih muda seperti Putu Sutawijaya, Pande Ketut Taman, Mahendra Toris, IGN Udiantara, I Made Arya Palguna, I Wayan Sudarna Putra, dan Anggreta. Beberapa tokoh generasi pertama seniman Bali yang mendapat pendidikan formal akademis ini tampil dengan wajah baru, yang berbeda dengan para pendahulu mereka namun masih menampakkan ciri-ciri budaya lokal mereka. Sebutlah itu seperti Nyoman Gunarsa, yang tenar dengan pokok masalah para penari Bali maupun figur-figur wayang, dengan pendekatan yang ekspresif. Tidak ada kebutuhan padanya untuk menggambarkannya secara rinci, bahkan sering tertinggal hanya kesan gerak, karena ia mengutamakan irama yang terbentuk lewat sapuan-sapuan yang berkarakter kuat. Wayan Sika muncul dengan ikon-ikon budayanya dengan gaya abstrak ekspresif. Made Wianta sempat menekankan ke-Bali-an lewat permainan garis hitam putih yang mengingatkan orang pada model reraja ha n atau kaligrafi Bali serta memanfaatkan filosofi Hindu di dalam sejumlah karya, termasuk untuk karya-karya instalasi maupun performance a rt. Namun di dalam sebagian karya-karyanya ia menyempal dari tipikal perpaduan antara modern Barat dan ciri Bali ini. Kekhasan semacam itu masih bisa terlacak pada para seniman yang lebih muda, seperti Nyoman Erawan, yang meminjam ikon-ikon Hindu balk warna maupun bentuk di dalam sejumlah karyanya. Pendekatan serupa tetap ia gunakan ketika membuat karya-karya instalasi maupun performance a rt. Lihatlah karyakarya IGN Nengah Nurata yang memberi suasana surealistik pada figur-figur mitologis yang terasa Bali. Begitu juga gaya ekspansif Made Budianta. Bahkan pelukis angkatan tahun 1990-an seperti Mahendra Toris memanfaatkan warna poleng di tengah sapuan kuasnya yang bergelora. Contoh seperti itu bisa muncul di dalam karya-karya Made Sukadana, nama populer di kalangan kolektor dan pedagang seni di Jakarta, dengan gaya yang ekspresif namun masih menyisakan sosok-sosok yang mengingatkan orang akan Bali. Sebut pula pelukis seperti Nyoman Sukari, yang di tengah gaya abstrak ekspresionisnya tiba-tiba menampakkan wajah barang atau ikon-ikon budaya lain. Bagaimana dengan tokoh kuat seperti I Made Djirna? Perjalanannya telah jauh, antara lain dengan memanipulasi jajaran manusia di dalam kanvas berwarna kecoklatan dan bersuasana dingin. Pande Ketut Taman rnemanfaatkan karakter sosok-sosok manusianya sebagai wajah orang kebanyakan, yang efektif untuk mengungkap 43 pandangan-pandangan keseharian maupun politis. Putu Sutawijaya yang memainkan bentuk- bentuk tubuh manusia, terkadang hanya wajah, yang temanya bernuansa politis. Yang tak kalah menarik adalah kenyataan munculnya karya-karya para pelukis lebih muda, yang boleh dikata terlepas dari kaitannya dengan ke-Bali-an mereka. Gaya Sumadiasa dengan sapuan-sapuan besar di dalam karyanya yang cenderung abstrak sulit mengingatkan orang pada tradisi seni lukis Bali. Mangu Putra dan Suklu dengan penguasaan gambar bentuk yang tinggi dan kemampuan menyiasati ruang. Lihatlah fenomena badut di dalam kanvas Sudarna Putra, yang menampilkan badut dan sosoksosok yang jelas bukan Indonesia apalagi Bali dengan pewarnaan keabuan. Lihat lukisan Masriadi dan Palguna yang menarnpilkan penggayaan dan pemilihan bentuk figur-figurnya yang unik, yang dengan serentak juga memungkinkan kebebasan luas di dalam menyodorkan tema termasuk memasuki kawasan sosial politik yang sempat menjadi pokok di kalangan para perupa muda Indonesia umumnya. Anggreta menampilkan figur-figur manusia dengan deformasi yang menarik untuk mengungkap persoalan sehari-hari yang ia akrabi. Para seniman dari generasi baru Sanggar Dewata Indonesia ini memang bermain pada dataran pemikiran dan keterampilan yang sama dengan rekan seangkatan mereka lainnya. Pada masa mereka ini mungkin sejarah seni rupa Indonesia tak perlu lagi didekati dengan cara memilah Bali dan Indonesia selebihnya. Infrastruktur Ruang Pamer Seni Rupa Di Ubud Sukarnoadalah tokoh yang spektakuler, berpengetahuan luas, berani dan revolusionis, setidaknya itulah yang terlihat dari pidato-pidatonya yang berapi-api dan menghipnotis. Mufakat dan kesejahteraan diperas menjadi satu yaitu socio-democratie. Yang satu lagi adalah ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Tapi bila ada yang tidak suka
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika DENPASAR - Enam orang seniman dan budayawan dari Bali menerima anugerah pengabdi seni tahun 2021 yaitu Adi Sewaka Nugraha. Hadiah ini diserahkan secara langsung oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster. Keenam seniman yang mendapatkan Adi Sewaka Nugraha merupakan bentuk apresiasi pemerintah Provinsi Bali, atas pengabdian dan dedikasi para seniman dan budayawan yang tanpa kenal lelah dan putus asa dalam hal pelestarian, pembinaan, dan pengembangan seni budaya Bali. “Proses pemberian penghargaan didasari atas usulan dari Pemerintah Kabupaten/Kota, Lembaga Seni, Lembaga Pendidikan, seperti ISI, UMHI maupun instansi lainnya, untuk kemudian diseleksi oleh tim penilai dan selanjutnya ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur Bali,” kata Kadisbud Provinsi Bali Prof. Dr. I Gede Arya Sugiartha. Penerima Adi Sewaka Nugraha memberi gambaran mengenai perjalanan berkesenian yang telah dilakoni serta semangat ngayah dalam berkesenian oleh para seniman dan budayawan. Penerima Adi Sewaka Nugraha ini diberikan piagam penghargaan dan uang tunai masing-masing sebesar Rp Baca juga Denpasar Raih Juara I Lomba Busana Adat Kerja dan Busana Casual pada PKB XLIII Keberadaan Adi Sewaka Nugraha ini diharapkan mampu menggelorakan semangat beraktivitas para seniman maupun generasi selanjutnya untuk menggali, melestarikan, membina dan mengembangkan seni budaya Bali serta penciptaan karya-karya seni yang pada akhirnya memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat. Enam seniman penerima Adi Sewaka Nugraha adalah Ni Ketut Arini maestro tari dari Denpasar, I Nyoman Sujena seniman tari dari Desa Antosari, Tabanan, I Wayan Suweca seniman karawitan dari Gianyar, I Ketut Suarna Dwipa seniman tari dari Desa Tejakula, Buleleng, Ida Nyoman Sugata seniman pedalangan dari Karangasem dan I Ketut Gede Rudita seniman karawitan dari Kabupaten Badung. Sosok Ni Ketut Arini sudah tak asing lagi di dunia tari Bali. Perempuan kelahiran Banjar Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kota Denpasar, 15 Maret 1943 ini dikenal sebagai salah seorang maestro tari Bali, khususnya Tari Condong. Baca juga Didesain Kedux Garage, Dua Patung Sang Kala Trisemaya Akan Hiasi Jalan Gajah Mada Denpasar I Nyoman Sujena memerankan tokoh Bima, bagi pecinta kesenian Bali 1980-an hingga 1990-an, tentu masih ingat dengan kesenian sendratari Mahabrata. Tokoh pentingnya, Bima dan Sekuni. Setiap kali sendratari produksi Pemerintah Provinsi Bali itu dipentaskan, panggung terbuka Ardha Chandra yang berkapasitas lebih dari penonton itu selalu penuh sesak. Penonton menunggu-nunggu aksi apik tokoh Bima dan Sekuni. Selanjutnya, I Wayan Suweca justru terkenal sebagai seniman karawitan.
AbsurdismeDelire A Deux. Oleh: Sahrul N. Kesan pertama yang menonjol setelah menonton teater Delire A Deux (Kura-Kura dan Bekicot) karya Ionesco, saduran Darnoto, sutradara Kurniasih Zaitun, di gedung pertunjukan Boestanul Arifin Adam STSI Padangpanjang, pada tanggal 15 April 2005 adalah suara-suara perang (bom, rentetan bunyi senapan, dan bentakan
PISAHSAMBUT ROMO KATHOLIK WONOSOBO. Posted by Wong Jombang Di Wonosobo 18.01 No comments. Wonosobo, Ahad, 11-8-2013 pukul 11:00 WIB telah diadakan acara Pisah Sambut Romo Matheus Yatno Yuwono, MSC dan Romo Philipus Seno Dewantoro, MSC di Gereja Santo Paulus Wonosobo Kota. Acara yang berjalan selama 2 jam itu, dihadiri Parsadaan Pomparan Raja Silahi Sabungan (PPRS) Indonesia menggelar deklarasi dan syukuran di Medan Adventist Convention Hall. Acara berlangsung meriah dihadiri ribuan orang yang tergabung dalam wadah PPRS Indonesia yang datang dari berbagai daerah tanah air. Acara dimulai dari kebaktian lalu dilanjutkan dengan gondang . 286 68 118 62 446 339 420 104

tokoh yang mengatakan mayoritas orang bali adalah seniman yaitu